1.Asal-usul
Asal mula wayang golek tidak diketahui secara jelas karena tidak ada keterangan lengkap, baik tertulis maupun lisan. Kehadiran wayang golek tidak dapat dipisahkan dari wayang kulit karena wayang golek merupakan perkembangan dari wayang kulit. Namun demikian, Salmun (1986) menyebutkan bahwa pada tahun 1583 Masehi Sunan Kudus membuat wayang dari kayu yang kemudian disebut wayang golek yang dapat dipentaskan pada siang hari.
Asal mula wayang golek tidak diketahui secara jelas karena tidak ada keterangan lengkap, baik tertulis maupun lisan. Kehadiran wayang golek tidak dapat dipisahkan dari wayang kulit karena wayang golek merupakan perkembangan dari wayang kulit. Namun demikian, Salmun (1986) menyebutkan bahwa pada tahun 1583 Masehi Sunan Kudus membuat wayang dari kayu yang kemudian disebut wayang golek yang dapat dipentaskan pada siang hari.
Sejalan dengan itu Ismunandar (1988) menyebutkan
bahwa pada awal abad ke-16 Sunan Kudus membuat bangun 'wayang purwo' sejumlah
70 buah dengan cerita Menak yang diiringi gamelan Salendro. Pertunjukkannya
dilakukan pada siang hari. Wayang ini tidak memerlukan kelir. Bentuknya
menyerupai boneka yang terbuat dari kayu (bukan dari kulit sebagaimana halnya
wayang kulit). Jadi, seperti golek. Oleh karena itu, disebut sebagai wayang
golek.
Pada mulanya yang dilakonkan dalam wayang golek adalah ceritera panji
dan wayangnya disebut wayang golek menak. Konon, wayang golek ini baru ada
sejak masa Panembahan Ratu (cicit Sunan Gunung Jati (1540-1650)). Di sana (di
daerah Cirebon) disebut sebagai wayang golek papak atau wayang cepak karena
bentuk kepalanya datar. Pada zaman Pangeran Girilaya (1650-1662) wayang cepak
dilengkapi dengan cerita yang diambil dari babad dan sejarah tanah Jawa.
Lakon-lakon yang dibawakan waktu itu berkisar pada penyebaran agama Islam.
Selanjutnya, wayang golek dengan lakon Ramayana dan Mahabarata (wayang golek
purwa) yang lahir pada 1840 (Somantri, 1988).
Kelahiran wayang golek diprakarsai oleh Dalem Karang Anyar (Wiranata
Koesoemah III) pada masa akhir jabatannya. Waktu itu Dalem memerintahkan Ki
Darman (penyungging wayang kulit asal Tegal) yang tinggal di Cibiru, Ujung
Berung, untuk membuat wayang dari kayu. Bentuk wayang yang dibuatnya semula
berbentuk gepeng dan berpola pada wayang kulit. Namun, pada perkembangan
selanjutnya, atas anjuran Dalem, Ki Darman membuat wayang golek yang membulat
tidak jauh berbeda dengan wayang golek sekarang. Di daerah Priangan sendiri
dikenal pada awal abad ke-19. Perkenalan masyarakat Sunda dengan wayang golek
dimungkinkan sejak dibukanya jalan raya Daendels yang menghubungkan daerah
pantai dengan Priangan yang bergunung-gunung. Semula wayang golek di Priangan
menggunakan bahasa Jawa. Namun, setelah orang Sunda pandai mendalang, maka
bahasa yang digunakan adalah bahasa Sunda.
2. Jenis-jenis Wayang Golek
Ada tiga jenis wayang golek, yaitu: wayang golek cepak, wayang golek
purwa, dan wayang golek modern. Wayang golek papak (cepak) terkenal di Cirebon
dengan ceritera babad dan legenda serta menggunakan bahasa Cirebon. Wayang
golek purwa adalah wayang golek khusus membawakan cerita Mahabharata dan
Ramayana dengan pengantar bahasa Sunda sebagai. Sedangkan, wayang golek modern
seperti wayang purwa (ceritanya tentang Mahabarata dan Ramayana, tetapi dalam
pementasannya menggunakan listrik untuk membuat trik-trik. Pembuatan trik-trik
tersebut untuk menyesuaikan pertunjukan wayang golek dengan kehidupan modern. Wayang
golek modern dirintis oleh R.U. Partasuanda dan dikembangkan oleh Asep Sunandar
tahun 1970--1980.
3.Pembuatan
Wayang golek terbuat dari albasiah atau lame. Cara pembuatannya adalah dengan meraut dan mengukirnya, hingga menyerupai bentuk yang diinginkan. Untuk mewarnai dan menggambar mata, alis, bibir dan motif di kepala wayang, digunakan cat duko. Cat ini menjadikan wayang tampak lebih cerah. Pewarnaan wayang merupakan bagian penting karena dapat menghasilkan berbagai karakter tokoh. Adapun warna dasar yang biasa digunakan dalam wayang ada empat yaitu: merah, putih, prada, dan hitam.
Wayang golek terbuat dari albasiah atau lame. Cara pembuatannya adalah dengan meraut dan mengukirnya, hingga menyerupai bentuk yang diinginkan. Untuk mewarnai dan menggambar mata, alis, bibir dan motif di kepala wayang, digunakan cat duko. Cat ini menjadikan wayang tampak lebih cerah. Pewarnaan wayang merupakan bagian penting karena dapat menghasilkan berbagai karakter tokoh. Adapun warna dasar yang biasa digunakan dalam wayang ada empat yaitu: merah, putih, prada, dan hitam.
4.Nilai Budaya
Wayang golek sebagai suatu kesenian tidak hanya mengandung nilai
estetika semata, tetapi meliputi keseluruhan nilai-nilai yang terdapat dalam
masyarakat pendukungnya. Nilai-nilai itu disosialisasikan oleh para seniman dan
seniwati pedalangan yang mengemban kode etik pedalangan. Kode etik pedalangan
tersebut dinamakan "Sapta Sila Kehormatan Seniman Seniwati Pedalangan Jawa
Barat". Rumusan kode etik pedalangan tersebut merupakan hasil musyawarah
para seniman seniwati pedalangan pada tanggal 28 Februari 1964 di Bandung.
Isinya antara lain sebagai berikut: Satu: Seniman dan seniwati
pedalangan adalah seniman sejati sebab itu harus menjaga nilainya. Dua: Mendidik
masyarakat. Itulah sebabnya diwajibkan memberi con-toh, baik dalam bentuk
ucapan maupun tingkah laku. Tiga: Juru penerang. Karena itu diwajibkan
menyampaikan pesan-pesan atau membantu pemerintah serta menyebarkan segala
cita-cita negara bangsanya kepada masyarakat. Empat: Sosial Indonesia. Sebab
itu diwajibkan mengukuhi jiwa gotong-royong dalam segala masalah. Lima:
Susilawan. Diwajibkan menjaga etika di lingkungan masyarakat. Enam: Mempunyai
kepribadian sendiri, maka diwajibkan menjaga kepribadian sendiri dan bangsa.
Tujuh: Setiawan. Maka diwajibkan tunduk dan taat, serta menghormati hukum
Republik Indonesia, demikian pula terhadap adat-istiadat bangsa.
0 komentar:
Posting Komentar