Wilujeung Sumping Baraya

29.1.12

Pakuan Bogor Adalah Ibukota Kerajaan Sunda


Tarusbawa naik tahta kerajaan dalam tahun 669 M sebagai penguasa Tarumanagara. Setahun kemudian ia mengganti nama negaranya menjadi SUNDA, lalu ia harus berbagi kekuasaan dengan Wretikandayun, pendiri Kerajaan Galuh. Walau pun demikian, dalam tahun 669 M dia masih sempat berkirim surat kepada raja-raja tetangga sahabat yang memberikan penobatan dirinya sebagai penguasa Tarumanagara yang baru, menggantikan mertuanya, Maharaja Linggawarman. Itulah sebabnya dalam sumber-sumber berita Cina tercatat bahwa kedatangan duta Tarumanagara yang terakhir ke negeri tersebut terjadi tahun 669 M. Mudah dipahami karena sejak tahun 670 M Tarumanagara sudah dipecah menjadi dua kerajaan yaitu : SUNDA dan GALUH dengan Sungai Citarum sebagai batas kekuasaan masing-masing.
Tindakan lain yang dilakukan Tarusbawa ialah pemindahan ibukota kerajaannya dari daerah Bekasi ke daerah pedalaman. Hal ini dapat kita ketahui dari berita Kropak 406 yang kadang-kadang disebut Carita Parahiyangan bagian II atau fragmen Carita Parahiyangan. Naskah tersebut memberitakan pembangunan istana baru.
Di inya urut kadatwan, ku Bujangga Sedamanah ngaran Sri Kadatwan Bima-Punta-Narayana-Madura-Suradipati. Anggeus ta tuluy diprebokta ku Maharaja Tarusbawa deung Bujangga Sedamanah.
Disiar ka hulu Cipakancilan, katimu Bagawat Sunda Mayajati, ku Bujangga Sedamanah dibaan ka hareupeun Maharaja Tarusbawa. (Di sanalah bekas keraton yang oleh Bujangga Sedamanah diberi nama Sri Kedatuan Bima-Punta-Narayana-Madura-Suradipati. Setelah selesai dibangun lalu diberkati oleh Maharaja Tarusbawa dan Bujangga Sedamanah.
Dicari ke hulu Cipakancilan, ditemuilah di sana Bagawati Sunda Mayajati oleh Bujangga Sedamanah dibawa ke hadapan Maharaja Tarusbawa.)
Dari Carita Parahiyangan kita mengetahui bahwa istana yang eranama demikian (kelak) ditempati oleh Sri Baduga Maharaja yang terkenal dengan julukan Ratu Sunda atau Ratu Pakuan dalam naskah-naskah yang lebih muda. Lokasinya pun tidak akan jauh dari hulu Cipakancilan. Nama keraton dan lokasinya menunjukkan bahwa keraton yang didirikan oleh Maharaja Tarusbawa ini terletak di kawasan Kelurahan Batutulis di sudut bagian tenggara kota Bogor sekarang.
Berita serupa kita temukan dalam Pustaka Nusantara II/3 halaman 204/205. Di sana diberitakan, “Hana Pwanung mangadekna Pakwan Pajajaran lawan kadatwan Sang Bima-Punta-Narayana-Madura-Suradipati ya ta Sang Prabhu Tarusbawa” (Ada pun yang mendirikan Pakuan Pajajaran beserta keraton Sang Bima-Punta-Narayana-Madura-Suradipati adalah Maharaja Tarusbawa).
Kedua sumber itu menunjukan bahwa Tarusbawa telah memindahkan pusat pemerintahannya ke daerah pedalaman atau lebih tepatnya lagi ke lokasi kampung Batutulis yang sekarang termasuk Wilayah Kotamadya Bogor. Kata Pakuan dalam bahasa Sunda kuno berarti Istana. Ada bermacam-macam tafsiran dari para ahli tentang arti Pakuan Pajajran. Ini (uraian lengkap tentang hal ini terdapat dalam buku “Sejarah Bogor”, 1983).
Pakuan Pajajaran menurut Poerbatjaraka (1921) berarti istana yang berjajar (“aanrijen staande hoven”). Bila dilihat nama istana yang cukup panjang tetapi terdiri atas nama-nama yang berdiri sendiri itu dapat diambil kesimpulan bahwa istana tersebut rupa-rupanya terdiri atas lima buah bangunan yang masing-masing bernama Bima, Punta, Narayana, Madura dan Suradipati. Itulah yang biasa disebut panca persada (5 bangunan keraton) dalam satra klasik. Dalam naskah-naskah Wangsakerta nama yang panjang itu sering disingkatkan menjadi Sang Bima atau Sri Bima saja.
Nama Keraton sering meluas menjadi nama ibukota bahkan akhirnya sering menjadi nama negara. Contoh nyata adalah; Ngayogyakarta Hadiningrat dan Surakarta Hadiningrat yang sebenarnya nama-nama keraton sekarang meluas menjadi nama ibukota dan juga nama wilayah. Pakuan Pajajaran pun demikian halnya. Nama itu selain nama rangkuman untuk keraton juga menjadi nama dayeuh dan negara (kerajaan).
Dalam prasasti-prasasti tembaga peninggalan Sri Baduga yang ditemukan di daerah Bekasi, ada tiga versi nama yang digunakan, yaitu Pakuan Pajajaran (lengkap), Pakuan (tanpa Pajajaran) dan Pajajaran (tanpa Pakuan). Orang Sunda yang kemudian cenderung menggunakan kata Pakuan untuk nama ibukota dan Pajajaran untuk nama negara (Kerajaan). Dalam tulisan ini pun akan ditempuh penggunaan seperti itu sedangkan untuk menyingkatkan nama keraton akan digunakan nama “Sri Bima”.
Pakuan didirikan oleh Maharaja Tarusbawa (669 –723 M). Hal ini dapat kita artikan bahwa Pakuan adalah ibukota Kerajaan Sunda, dan didirikan dalam kwartal pertama abad ke-8 Masehi. Bangunan keraton tentu akan diperbaharui beberapa kali oleh beberapa orang penguasa sekali pun namanya tidak berubah. Kropak 406 menunjukkan bahwa keraton itu pernah dipunar (diperbaharui) oleh Prabuguru Darmasiksa dan Prabu Susuktunggal.
Lokasi Keraton ini terletak pada lahan lemah-duwur (lahan datar di atas bukit) yang diapit oleh tiga batang sungai berlereng curam yaitu; Cisadane, Ciliwung dan Cipaku (anak Cisadane). Sebagai berkah di tengah-tengah mengalir Cipakancilan yang ke bagian hulu sungainya bernama Ciawi). Pakuan terlindung oleh lereng terjal pada ke tiga sisinya. Hanyalah pada sisi tenggara kota itu berbatas dengan lahan yang datar. Karena itu pada bagian inilah terdapat benteng atau kuta yang paling besar dengan lebar dasar 7 meter dan tingginya 4 meter serta pada bagian atasnya diperkuat dengan batu. Seperti di Karang Kamulyan (bekas Ibukota Galuh), pada tepi bagian luar benteng tersebut terdapat parit yang merupakan bentuk negatif dari benteng itu. Tanah galian parit inilah yang dijadikan bagan pembangunan benteng.
Pakuan sebagai ibukota Sunda tercatat pula dalam “The Suma Oriantal” yang berisi catatan perjalanan Tome Pires (1513). Ia menyebutkan bahwa ibukota kerajaan Sunda yang disebut Dayo (Dayeuh) itu terletah sejauh dua hari perjalanan dari pelabuhan Kalapa. Menurut laporan-laporan VOC, perjalanan dari bekas benteng Pakuan ke muara Ciliwung tempat benteng mereka memakan waktu dua hari. Jadi, sejak Maharaja Tarusbawa sampai abad ke-16 ibukota sunda tetap berada di kawasan kota Bogor yang sekarang. Di badingkan dengan usia keraton Galuh, pakuan lebih muda kira-kira satu abad. Yang jelas ialah : pendapat yang mengemukakan bahwa Pakuan Pajajaran didirikan oleh Sri Baduga Maharaja tidak cocok bahkan bertentangan dengan sumber-sumber sejarah yang ada.
Diambil dari Buku Sejarah Jawa Barat (rintisan penelusuran masa silam) Jilid ke-3. PEMDA Tk. I Jawa Barat tahun 1983-1984 hal. 1 – 3

Sumber : http://citraresmi.4t.com/babad1.htm

0 komentar:

Spoiler Untuk lihat komentar yang masuk:

Posting Komentar