Tarusbawa naik tahta kerajaan dalam tahun 669 M sebagai penguasa
Tarumanagara. Setahun kemudian ia mengganti nama negaranya menjadi SUNDA, lalu
ia harus berbagi kekuasaan dengan Wretikandayun, pendiri Kerajaan Galuh. Walau
pun demikian, dalam tahun 669 M dia masih sempat berkirim surat kepada
raja-raja tetangga sahabat yang memberikan penobatan dirinya sebagai penguasa
Tarumanagara yang baru, menggantikan mertuanya, Maharaja Linggawarman. Itulah
sebabnya dalam sumber-sumber berita Cina tercatat bahwa kedatangan duta
Tarumanagara yang terakhir ke negeri tersebut terjadi tahun 669 M. Mudah
dipahami karena sejak tahun 670 M Tarumanagara sudah dipecah menjadi dua
kerajaan yaitu : SUNDA dan GALUH dengan Sungai Citarum sebagai batas kekuasaan
masing-masing.
Tindakan lain yang dilakukan Tarusbawa ialah pemindahan ibukota
kerajaannya dari daerah Bekasi ke daerah pedalaman. Hal ini dapat kita ketahui
dari berita Kropak 406 yang kadang-kadang disebut Carita Parahiyangan bagian II
atau fragmen Carita Parahiyangan. Naskah tersebut memberitakan pembangunan
istana baru.
Di inya urut kadatwan, ku Bujangga Sedamanah ngaran Sri Kadatwan
Bima-Punta-Narayana-Madura-Suradipati. Anggeus ta tuluy diprebokta ku Maharaja
Tarusbawa deung Bujangga Sedamanah.
Disiar ka hulu Cipakancilan, katimu Bagawat Sunda Mayajati, ku
Bujangga Sedamanah dibaan ka hareupeun Maharaja Tarusbawa. (Di sanalah bekas
keraton yang oleh Bujangga Sedamanah diberi nama Sri Kedatuan
Bima-Punta-Narayana-Madura-Suradipati. Setelah selesai dibangun lalu diberkati
oleh Maharaja Tarusbawa dan Bujangga Sedamanah.
Dicari ke hulu Cipakancilan, ditemuilah di sana Bagawati Sunda
Mayajati oleh Bujangga Sedamanah dibawa ke hadapan Maharaja Tarusbawa.)
Dari Carita Parahiyangan kita mengetahui bahwa istana yang eranama
demikian (kelak) ditempati oleh Sri Baduga Maharaja yang terkenal dengan
julukan Ratu Sunda atau Ratu Pakuan dalam naskah-naskah yang lebih muda.
Lokasinya pun tidak akan jauh dari hulu Cipakancilan. Nama keraton dan
lokasinya menunjukkan bahwa keraton yang didirikan oleh Maharaja Tarusbawa ini
terletak di kawasan Kelurahan Batutulis di sudut bagian tenggara kota Bogor
sekarang.
Berita serupa kita temukan dalam Pustaka Nusantara II/3 halaman
204/205. Di sana diberitakan, “Hana Pwanung mangadekna Pakwan Pajajaran lawan
kadatwan Sang Bima-Punta-Narayana-Madura-Suradipati ya ta Sang Prabhu
Tarusbawa” (Ada pun yang mendirikan Pakuan Pajajaran beserta keraton Sang
Bima-Punta-Narayana-Madura-Suradipati adalah Maharaja Tarusbawa).
Kedua sumber itu menunjukan bahwa Tarusbawa telah memindahkan
pusat pemerintahannya ke daerah pedalaman atau lebih tepatnya lagi ke lokasi
kampung Batutulis yang sekarang termasuk Wilayah Kotamadya Bogor. Kata Pakuan
dalam bahasa Sunda kuno berarti Istana. Ada bermacam-macam tafsiran dari para
ahli tentang arti Pakuan Pajajran. Ini (uraian lengkap tentang hal ini terdapat
dalam buku “Sejarah Bogor”, 1983).
Pakuan Pajajaran menurut Poerbatjaraka (1921) berarti istana yang
berjajar (“aanrijen staande hoven”). Bila dilihat nama istana yang cukup
panjang tetapi terdiri atas nama-nama yang berdiri sendiri itu dapat diambil
kesimpulan bahwa istana tersebut rupa-rupanya terdiri atas lima buah bangunan
yang masing-masing bernama Bima, Punta, Narayana, Madura dan Suradipati. Itulah
yang biasa disebut panca persada (5 bangunan keraton) dalam satra klasik. Dalam
naskah-naskah Wangsakerta nama yang panjang itu sering disingkatkan menjadi
Sang Bima atau Sri Bima saja.
Nama Keraton sering meluas menjadi nama ibukota bahkan akhirnya
sering menjadi nama negara. Contoh nyata adalah; Ngayogyakarta Hadiningrat dan
Surakarta Hadiningrat yang sebenarnya nama-nama keraton sekarang meluas menjadi
nama ibukota dan juga nama wilayah. Pakuan Pajajaran pun demikian halnya. Nama
itu selain nama rangkuman untuk keraton juga menjadi nama dayeuh dan negara
(kerajaan).
Dalam prasasti-prasasti tembaga peninggalan Sri Baduga yang
ditemukan di daerah Bekasi, ada tiga versi nama yang digunakan, yaitu Pakuan
Pajajaran (lengkap), Pakuan (tanpa Pajajaran) dan Pajajaran (tanpa Pakuan).
Orang Sunda yang kemudian cenderung menggunakan kata Pakuan untuk nama ibukota
dan Pajajaran untuk nama negara (Kerajaan). Dalam tulisan ini pun akan ditempuh
penggunaan seperti itu sedangkan untuk menyingkatkan nama keraton akan
digunakan nama “Sri Bima”.
Pakuan didirikan oleh Maharaja Tarusbawa (669 –723 M). Hal ini
dapat kita artikan bahwa Pakuan adalah ibukota Kerajaan Sunda, dan didirikan
dalam kwartal pertama abad ke-8 Masehi. Bangunan keraton tentu akan
diperbaharui beberapa kali oleh beberapa orang penguasa sekali pun namanya
tidak berubah. Kropak 406 menunjukkan bahwa keraton itu pernah dipunar
(diperbaharui) oleh Prabuguru Darmasiksa dan Prabu Susuktunggal.
Lokasi Keraton ini terletak pada lahan lemah-duwur (lahan datar di
atas bukit) yang diapit oleh tiga batang sungai berlereng curam yaitu;
Cisadane, Ciliwung dan Cipaku (anak Cisadane). Sebagai berkah di tengah-tengah
mengalir Cipakancilan yang ke bagian hulu sungainya bernama Ciawi). Pakuan
terlindung oleh lereng terjal pada ke tiga sisinya. Hanyalah pada sisi tenggara
kota itu berbatas dengan lahan yang datar. Karena itu pada bagian inilah
terdapat benteng atau kuta yang paling besar dengan lebar dasar 7 meter dan
tingginya 4 meter serta pada bagian atasnya diperkuat dengan batu. Seperti di
Karang Kamulyan (bekas Ibukota Galuh), pada tepi bagian luar benteng tersebut
terdapat parit yang merupakan bentuk negatif dari benteng itu. Tanah galian
parit inilah yang dijadikan bagan pembangunan benteng.
Pakuan sebagai ibukota Sunda tercatat
pula dalam “The Suma Oriantal”
yang berisi catatan perjalanan Tome Pires (1513). Ia menyebutkan bahwa ibukota
kerajaan Sunda yang disebut Dayo (Dayeuh) itu terletah sejauh dua hari
perjalanan dari pelabuhan Kalapa. Menurut laporan-laporan VOC, perjalanan dari
bekas benteng Pakuan ke muara Ciliwung tempat benteng mereka memakan waktu dua
hari. Jadi, sejak Maharaja Tarusbawa sampai abad ke-16 ibukota sunda tetap
berada di kawasan kota Bogor yang sekarang. Di badingkan dengan usia keraton
Galuh, pakuan lebih muda kira-kira satu abad. Yang jelas ialah : pendapat yang
mengemukakan bahwa Pakuan Pajajaran didirikan oleh Sri Baduga Maharaja tidak
cocok bahkan bertentangan dengan sumber-sumber sejarah yang ada.
Diambil dari Buku Sejarah Jawa Barat (rintisan penelusuran masa
silam) Jilid ke-3. PEMDA Tk. I Jawa Barat tahun 1983-1984 hal. 1 – 3
Sumber : http://citraresmi.4t.com/babad1.htm
0 komentar:
Posting Komentar