Sunda berasal dari kata Su = Bagus/ Baik, segala
sesuatu yang mengandung unsur kebaikan, orang Sunda diyakini memiliki etos/
watak/ karakter Kasundaan sebagai jalan menuju keutamaan hidup. Watak /
karakter Sunda yang dimaksud adalah cageur (sehat), bageur (baik), bener
(benar), singer (mawas diri), dan pinter (pandai/ cerdas) yang sudah dijalankan
sejak jaman Salaka Nagara sampai ke Pakuan Pajajaran, telah membawa kemakmuran
dan kesejahteraan lebih dari 1000 tahun.
Sunda merupakan kebudayaan masyarakat yang tinggal
di wilayah barat pulau Jawa namun dengan berjalannya waktu telah tersebar ke
berbagai penjuru dunia. Sebagai suatu suku, bangsa
Sunda merupakan cikal bakal berdirinya peradaban di Nusantara, di mulai dengan
berdirinya kerajaan tertua di Indonesia, yakni Kerajaan Salakanagara
dan Tarumanegara. Bahkan menurut Stephen Openheimer dalam bukunya berjudul
Sundaland, Tatar Sunda/ Paparan Sunda (Sundaland) merupakan pusat
peradaban di dunia. Sejak dari awal hingga kini, budaya Sunda terbentuk sebagai
satu budaya luhur di Indonesia. Namun, modernisasi dan masuknya budaya luar
lambat laun mengikis keluhuran budaya Sunda, yang membentuk etos dan watak
manusia Sunda.
Makna kata Sunda sangat luhur, yakni cahaya,
cemerlang, putih, atau bersih. Makna kata Sunda itu tidak hanya
ditampilkan dalam penampilan, tapi juga didalami dalam hati. Karena itu, orang
Sunda yang 'nyunda' perlu memiliki hati yang luhur pula. Itulah yang perlu
dipahami bila mencintai, sekaligus bangga terhadap budaya Sunda yang
dimilikinya.
Setiap bangsa memiliki etos, kultur,
dan budaya yang berbeda. Namun tidaklah heran jika ada bangsa yang berhasrat
menanamkan etos budayanya kepada bangsa lain. Karena beranggapan, bahwa etos
dan kultur budaya memiliki kelebihan. Kecenderungan ini terlihat pada etos dan
kultur budaya bangsa kita, karena dalam beberapa dekade telah terimbas oleh
budaya bangsa lain. Arus modernisasi menggempur budaya nasional yang menjadi
jati diri bangsa. Budaya nasional kini terlihat sangat kuno, bahkan ada
generasi muda yang malu mempelajarinya. Kemampuan menguasai kesenian
tradisional dianggap tak bermanfaat. Rasa bangsa kian terkikis, karena budaya
bangsa lain lebih terlihat menyilaukan. Kondisi memprihatinkan ini juga terjadi
pada budaya Sunda, sehingga orang Sunda kehilangan jati dirinya.
Untuk menghadapi keterpurukan
kebudayaan Sunda, ada baiknya kita melangkah ke belakang dulu. Mempelajari, dan
mengumpulkan pasir mutiara yang berserakan selama ini. Banyak petuah bijak dan
khazanah ucapan nenek moyang jadi berkarat, akibat tidak pernah tersentuh
pemiliknya. Hal ini disebabkan keengganan untuk mempelajari dengan seksama,
bahkan mereka beranggapan ketinggalan zaman. Bila dipelajari, sebenarnya
pancaran etika moral Sunda memiliki khazanah hikmah yang luar biasa. Hal itu
terproyeksikan lewat tradisinya. Karena itu, marilah kita kenali kembali, dan
menguak beberapa butir peninggalan nenek moyang Sunda yang hampir.
Ada beberapa etos atau watak dalam
budaya Sunda tentang satu jalan menuju keutamaan hidup. Selain itu, etos dan
watak Sunda juga dapat menjadi bekal keselamatan dalam mengarungi kehidupan di
dunia ini. Etos dan watak Sunda itu ada lima, yakni cageur, bageur, bener,
singer, dan pinter yang sudah lahir sekitar jaman Salakanagara dan Tarumanagara.
Ada bentuk lain ucapan sesepuh Sunda yang lahir pada abad tersebut. Lima kata
itu diyakini mampu menghadapi keterpurukan akibat penjajahan pada zaman itu.
Coba kita resapi pelita kehidupan lewat lima kata itu. Semua ini sebagai dasar
utama urang Sunda yang hidupnya harus 'nyunda', termasuk para pemimpin bangsa.
Cara meresapinya dengan memahami
artinya. Cageur, yakni harus sehat jasmani dan rohani, sehat berpikir, sehat
berpendapat, sehat lahir dan batin, sehat moral, sehat berbuat dan bertindak,
sehat berprasangka atau menjauhkan sifat suudzonisme. Bageur yaitu baik hati,
sayang kepada sesama, banyak memberi pendapat dan kaidah moril terpuji ataupun
materi, tidak pelit, tidak emosional, baik hati, penolong dan ikhlas
menjalankan serta mengamalkan, bukan hanya dibaca atau diucapkan saja. Bener
yaitu tidak bohong, tidak asal-asalan dalam mengerjakan tugas pekerjaan,
amanah, lurus menjalankan agama, benar dalam memimpin, berdagang, tidak memalsu
atau mengurangi timbangan, dan tidak merusak alam. Singer, yaitu penuh mawas
diri bukan was-was, mengerti pada setiap tugas, mendahulukan orang lain sebelum
pribadi, pandai menghargai pendapat yang lain, penuh kasih sayang, tidak cepat
marah jika dikritik tetapi diresapi makna esensinya. Pinter, yaitu pandai ilmu dunia
dan akhirat, mengerti ilmu agama sampai ke dasarnya, luas jangkauan ilmu dunia
dan akhirat walau berbeda keyakinan, pandai menyesuaikan diri dengan sesama,
pandai mengemukakan dan membereskan masalah pelik dengan bijaksana, dan tidak
merasa pintar sendiri sambil menyudutkan orang lain.
Sumber:
http://www.kasundaan.org/
(berdasarkan cerita Bapak Eman Sulaeman,
Yayasan Hanjuang Bodas, Bogor)
0 komentar:
Posting Komentar